Wednesday, September 20, 2006

Aku adalah Kartini

Apa yang terlintas dalam pikiran kita kalau mendengar nama R.A Kartini? Respon2 yang sering muncul antara lain emansipasi wanita, Jepara, Abendanon, dan Habis Gelap Terbitlah Terang. Apa sebenarnya yang membuat R.A Kartini menjadi salah satu pahlawan nasional kita? Toh, sebenarnya banyak orang lain yang rasanya lebih pantas menyandang gelar pahlawan nasional bukan? Dan kalau pun kita mengakui jasa-jasa RA Kartini, lalu kenapa kita merayakannya hanya sebatas dengan memakai baju daerah atau mengadakan acara-acara yang bertemakan wanita? Sesempit itukah wilayah perjuangan Kartini? Hanya untuk wanita?

Buku-buku yang mengulas sejarah tentang RA Kartini terlampau sedikit untuk kita dapatkan. Dan buku-buku yang ada pun kebanyakan memang terdiri dari surat-surat beliau yang ditujukan untuk Mr. JH Abendanon, seorang Direktur Jendral Pendidikan dan Ibadat untuk Hindia pada saat itu. Dan bisa dikatakan bahwa saat ini kita tidak banyak yang membaca buku legendaris Habis Gelap Terbitlah Terang ini. Pramoedya Ananta Toer sebagai seorang pengagum kekuatan potensi wanita tergerak mencoba memberikan sisi lain dari sejarah kehidupan RA Kartini yang mampu memberikan kita sebuah sudut pandang yang berbeda dari Bunga Jepara ini.

Semasa hidupnya RA Kartini lebih suka untuk dipanggil Kartini, tanpa embel-embel, tanpa gelar kebangsawanan, karena memang hanya itu namanya. Ini adalah salah satu wujud dari pemahamannya tentang kesederajatan di antara manusia. Dikaruniai daya observasi, analisa dan pemahaman yang baik serta kehausannya untuk selalu belajar membuat Kartini tahu bahwa ada banyak sekali diskriminasi yang terjadi di sekitar hidupnya. Tradisi turun temurun, feodalisme, penjajahan dan kebodohan adalah beberapa akar dari tumbuh suburnya diskriminasi ini. Ketika kesempatannya untuk memuaskan dahaganya akan ilmu terenggut oleh tradisi pingit (Kartini sering menamai tradisi-tradisi yang merugikan itu sebagai 'tradisi sakit'), dia mulai membenamkan kekecewaannya melalui buku-buku.

Perasaan halusnya membuatnya teriris ketika dia melihat rakyatnya menderita karena penjajahan dan tradisi turun temurun. Feodalisme yang selalu mengagung-agungkan bangsawan dan priyayi tanpa pernah merasa perlu peduli dengan rakyat ternyata dijadikan alat oleh Belanda untuk membuat rakyat (Jawa khususnya) tetap bodoh dan mau diperas tanpa banyak protes. Melalui surat-suratnya dan juga esai-esainya yang terbit di majalah-majalah Belanda atau pun majalah baru di Hindia, Kartini banyak menyuarakan pemikirannya untuk memberikan pendidikan dan penghidupan yang lebih layak buat Hindia dan bahwa Hindia patut mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari Belanda. Salah satu pekerjaan kongkritnya untuk mengusahakan penghidupan yang layak buat rakyat adalah dengan mempromosikan ukiran Jepara dan juga seni batik. Kartini bertindak sebagai penghubung antara pihak pembeli dan pengrajin ukiran sehingga dia bisa meminimalisir pengambilan keuntungan yang semena-mena yang sering dilakukan oleh para makelar terhadap para pengrajin. Kartini juga membuat buku yang isinya tentang sejarah batik dan juga pola-pola batik dan buku ini mendapat perhatian dari Ratu Belanda sendiri. Sekolah untuk para gadis juga salah satu karya Kartini untuk memberikan pendidikan yang lebih layak untuk rakyat.

Korespondensinya dengan sahabat-sahabat di luar negeri sering menjadi semangat dan pelipur lara jiwanya yang selalu gelisah untuk berjuang dan memberikan yang terbaik untuk rakyatnya. Sebagai wanita yang selalu menyadari batas diri dan kemampuannya, Kartini memilih berjuang melalui pena dan tulisan. Memperhitungkan minimnya pendidikan dan kesadaran rakyat akan pendidikan, serta untuk memberikan dampak yang lebih mengena, maka Kartini memilih orang-orang Belanda sebagai audiensnya. Pemilihan audiens ini terbukti benar dengan banyaknya perhatian dari kalangan Belanda dan juga petinggi-petinggi Belanda terhadap pemikiran Kartini. Perhatian yang besar ini mungkin salah satu dampak dari arus tuntutan banyak kalangan di Belanda sendiri dan juga diseluruh dunia untuk memberikan penghidupan dan pendidikan yang lebih baik di negara-negara terjajah. Perjuangan Kartini sedikit banyak diuntungkan dengan adanya perubahan peralihan imperialisme kuno menjadi imperialisme modern. Bahkan perjuangan Kartini (dan juga banyak individu2 intelektual di seluruh Hindia saat itu) menjadi salah satu pemicu percepatan peralihan paham ini.

Namun cita-cita murni Kartini ini sedikit banyak dibelokkan dan ditunggangi oleh pihak Belanda untuk kepentingannya sendiri. Belanda masih ingin menancapkan kukunya di Hindia dengan jalan yang lebih 'cantik', yaitu yang dikenal dengan istilah 'Politik Ethis' atau 'Politik Balas Budi'. Mendirikan sekolah-sekolah untuk pribumi, pemberian ijin beredarnya surat kabar dan majalah pribumi, lapangan pekerjaan yang lebih terbuka untuk pribumi berpendidikan adalah beberapa cara kongkrit dari wujud Politik Ethis ini. Setelah Kartini wafat, JH Abendanon membukukan surat-surat Kartini, tapi banyak surat tersebut yang mengalami proses penyuntingan isi sehingga perjuangan Kartini dibatasi dalam lingkup emansipasi wanita. Memang Kartini banyak terpengaruh dan mendukung perjuangan para pejuang emansipasi wanita seperti Pandita Rambaita dari India, tapi emansipasi wanita hanyalah salah satu masalah yang menjadi perhatian Kartini.

Kartini adalah seorang nasionalis dan humanis paling awal yang dimiliki Indonesia dan sepanjang hidupnya bahkan sampai hari kematiannya dia selalu memikirkan cara untuk membuat rakyat Hindia menjadi manusia yang lebih 'manusia'. Namun untuk kepentingan politik Belanda perjuangan murni Kartini mengalami penciutan. Pemikiran Kartini mampu menimbulkan penyadaran dan pemahaman yang luas bila disebarkan secara gamblang pada Hindia, dan mau tidak mau Belanda akan menanggung akibat dari arus pemulihan kesadaran ini. Di samping itu Belanda menganggap Kartini sebagai angin segar dari negeri jajahan untuk ditunjukkan pada dunia bahwa Belanda tidak hanya memeras Hindia tapi juga mampu memberikan kesempatan pada pribumi untuk mendapatkan pendidikan layak dan bisa menyatakan pemikiran secara terbuka. Padahal kenyataan yang sesungguhnya tidak seperti itu...

Kartini sesungguhnya patut kita hargai keteladanan jiwa dan pikirannya. Kartini bukan hanya pahlawan bagi wanita dan menjadi kebanggaan wanita Indonesia tapi Kartini patut mendapatkan kebanggaan dari seluruh bangsa Indonesia. Karena Kartini adalah pejuang rakyat Indonesia yang berusaha menghapuskan diskriminasi di seluruh bidang kehidupan rakyat.


..:: Hasil renungan setelah membaca buku Panggil Saja Aku Kartini karya Paramoedya Ananta Toer ::..

Sunday, July 23, 2006

Abis Liat Friendster

Tiap kali buka Friendster (FS) selalu yang muncul foto beberapa orang yang sama. Saya jadi tertarik untuk ngebahas ini di blog saya sendiri.

Ada yang namanya Tika, dia ini teman satu kampus dulu, sekarang setelah menikah dia tinggal di London. Entah sebagai permanen residence atau sekolah atau ikut suami. Dia ini setiap saat selalu menulis sesuatu di blog-nya. Sehingga saya sering (dan selalu) mendapat notifikasi di e-mail yahoo saya kalau dia barusan meng-update blog-nya. Isi tulisannya sih menurut saya tidak terlalu penting, karena semua hal yang sekecil2nya dia tulis di blog. Paling sering sih kesan dan pesan dia setelah menonton film (dan harap dicatat, dia sangat, sangat, sangat sering menonton film, jadi kebayang kan banyaknya posting yang dia lakukan di blog?). Saya jadi bingung, apa karena dia memang suka menulis maka dia selalu berusaha membagi semua pikirannya di blog dimana semua orang bisa membacanya? Mungkin iya. Atau apakah dia tidak mempunyai seorang istimewa yang bisa diajak berbagi hal yang detil2 seperti itu sehingga dia harus menuliskan semua peristiwa hidupnya di blog? Gak mungkin, dia kan punya suami yang bisa diajak ngobrol ngalor ngidul. Atau dia memang banci tampil mengingat sebelum di London dia sempat menjadi reporter dan pembawa berita di TV7 sehingga sebenernya dia masih membutuhkan "sorotan" dan perhatian dari banyak orang? Entahlah... Tapi di satu sisi ada beberapa tulisannya yang cukup informatif. Jadi mungkin saya masih akan membaca beberapa tulisan di blog-nya dan yang pasti saya akan selalu mendapat notifikasi di e-mail yahoo saya.

Yang kedua adalah cewek yang bernama Gabriela. Saya sih taunya dia dipanggil Rully sama keluarganya. Dia punya tiga 2 adik yang namanya Nungkin dan Ririe. Saya kenal sama mereka waktu saya kerja di kantor milik ibu mereka. Dan mereka kemudian meng-add saya di FS. Rully ini selalu muncul di kolom Last Updates, entah karena dia mendapatkan testimonial baru atau dia barusan upload foto baru. Adek2nya juga sama aja seperti itu. Apa mereka sedang berlomba mendapatkan predikat The Most Updated Profile? Awalnya saya masih suka coba buka profile mereka untuk liat hal yang terbaru dari mereka, lama2 kok bosen dan gak ada kerjaan banget. Dan tampaknya pula, mereka sedang berlomba dengan para artis yang punya account FS untuk mengumpulkan friendlist sebanyak2nya. Aneh,... mereka selalu mengupdate profile mereka tapi apakah mereka juga mengupadate jalinan pertemanan dengan semua orang yang ada di list mereka? Mungkin mereka emang bantam (banci tampil).

Trus ada lagi yang namanya Agda. Dia ini teman satu kampus juga, dan dia satu angkatan dengan Tika yang suka nulis blog itu. Kalo dia ini lumayan lucu keanehannya. Entah kenapa dia sekarang menjadi bulbo addict. Tau kan bulbo apa? Bulleting Board itu lohhh... Kenapa saya sebut addict? karena nama dia selalu muncul di kolom Bulbo. Hampir semua posting bulbo dia selalu ikut. Dan seperti yang diketahui hampir semua isi bulbo itu adalah pertanyaan2 yang mengada2, tapi suka banyak lucunya. Kalau Agda ini sepertinya menggunakan bulbo sebagai media escape dia dari kerjaan yang menumpuk dan under pressure. Saya menyimpulkan dia memiliki pekerjaan yang under pressure juga dari respon2 dia di bulbo itu. Dan terus terang sih, saya hampir selalu baca posting bulbo dia, soalnya suka lucu2 responnya, terlihat sekali kalau dia memang sedang escape, hahaha

Yah, tiga orang itu selalu menghiasi halaman account FS saya. Kadang nyebelin juga kok ya gak ada orang lain, tapi di satu sisi kehadiran mereka cukup menghibur.

Saturday, July 01, 2006

Anakku dan Film


Kalo lihat gambar ini, mau gak mau di kepala saya yang akan terjadi adalah melintasnya semua aktivitas2 dan kelakuan lucu anak saya. Semua episode dan kejadian yang terekam di otak saya bergerak dengan sangat cepat. Setelah itu yang muncul adalah rasa kangen.

Anak saya, Bhumi, sangat suka menonton film. Saya lega karena dia tidak terlalu suka tivi. Tahu sendiri kan mutu tayangan tivi kita? Sampai saat ini film2 favorit dia lumayan banyak, hmmm, kalau boleh di-list sih kalau tidak salah:
1. Lion King
2. Aladdin
3. Sinbad
4. Godzilla (gara2 Godzilla ini saya pernah adu mulut sama Bhumi. Dia minta dibelikan dvd godzilla, tapi karena waktu itu tidak ada waktu dan penjual dvd yang saya tanya juga bilang dvd Godzilla tidak ada, akhirnya Bhumi saya belikan Jurassic Park. Toh disitu ada T-Rex yang mirip Godzilla kan? Ternyata setelah dia nonton Jurassic Park, dia langsung protes karena tak dinyana2 dia menyebutkan beberapa ciri Godzilla yang tidak dimiliki T-Rex dan akhirnya saya harus pergi ke rental dvd untuk nyewa film Godzilla.)
5. Spiderman 1 (Spiderman 2 saya sembunyikan soalnya terlalu mature buat dia. Gara2 nonton Spidey 1 aja, dia ngotot mau ciuman sama saya. Pusing kan...)
6. The Incredibles
7. Hulk (ini juga dvd-nya saya sembunyikan, karena setelah nonton Hulk dia jadi suka mengeluarkan suara2 menggeram dan membanting2 barang. Pusiinnggg lagi saya...)
8. Lord of The Ring (tapi khusus yang ke-2, yang ada Golum-nya. Gak tau kenapa dia doyan sama Golum)
9. Toy Story 2 (dia ngefans banget sama Buzz Lightyear, apalagi kalo Buzz lagi terbang...)
10. Dora (sempet ngefans banget, tapi sekarang kayaknya tidak terlalu heboh)
11. Finding Nemo (dia ngefans sama Bruce si hiu. Dia menyebut Bruce sebagai Bush)
12. Brother Bear
13. Saya sudah lupa apalagi film favorit dia...
14. Oh, ya Harry Potter

Yang agak bikin deg2an saya adalah ketika dia nitip untuk dibelikan sesuatu yang dia lihat di film. Misalnya boneka Buzz Lightyear (ini harganya maaaahhhhhaaaalll sekaleee, tapi dibeliin juga sama bapaknya), baju Spiderman, tas Batman, boneka Godzilla (karena tidak berhasil menemukan saya belikan boneka T-Rex dari karet (dan seperti biasa saya kena protes lagi)), sampai topeng spiderman yang tidak ada lobang mulutnya. Adduhhh, kadang saya berpikir, ini saya sedang dimapram lagi apa ya kayak waktu pertama kali jadi mahasiswa yang diberi tugas bawa barang2 aneh...

Tapi biar gimana, dia itu selalu bikin saya kangen setengah mati.

Sunday, June 25, 2006

Dan Brown

Sampai saat ini saya adalah penggemar novel2 karya Dan Brown. Pertama kali mencoba mencicipi Dan Brown adalah pengalaman pertama membaca Da Vinci Code. Ritme cerita yang cepat, sarat informasi tapi tidak menggurui dan setting2 lokasi yang eksotis membuat saya ketagihan. Novel berikut yang saya baca adalah Angel & Demon juga sama menegangkan dan sama menariknya. Dari dua karya ini saya sempat sedikit berkesimpulan bahwa DB menkhususkan dirinya pada tema-tema konspirasi agama. Tema yang menarik untuk digali, menurut saya.

Baru-baru ini saya membeli novel DB yang lain yaitu Digital Fortress. Boleh dibilang saya agak kecewa dengan novelnya yang ini. Oke, mungkin karena tema yang dipilih di novel ini menurut saya kurang seksi, tema teknologi informasi dan konspirasi AS untuk mengendalikan seluruh informasi yang ada di dunia ini. Duh, agak ketinggalan jaman menurut saya. Siapa juga tahu, atau tahu-tahu tidak tahu, tentang masalah paranoid-nya AS di bidang ini. Saya pikir juga, saat ini tema2 yang sedang digandrungi orang adalah tema-tema terorisme, isu2 agama dan juga tema yang selalu ditunggu orang, teori konspirasi. Makanya kalau teori konspirasi ini digabungkan dengan isu2 agama atau rasialisme atau ekonomi, semua orang akan tertarik untuk membaca.

Selain masalah tema, novel DB yang ini, tutur berceritanya berbeda dengan dua novel sebelumnya yang sudah saya baca. Penyampain informasi yang membang menjadi ciri novel DB sangat kasar dan tidak natural. Mirip seperti sinetron2 Indonesia, penyampaian informasinya terlalu verbal sehingga tidak memberi ruang buat saya untuk berimajinasi. Saya pribadi lebih suka menyimpulkan sendiri dari uraian tentang karakterisktik atau dari dialog2 yang ada bahwa tokoh yang sedang dibicarakan adalah perempuan yang cantik dan cerdas. Saya tidak suka didikte oleh uraian verbal yang secara otoriter memaksa saya dengan kalimat, misalnya, Susan Fletcher adalah kriptografer cantik dengan IQ 170. Ayolah, itu kalimat informasi yang membuat saya seperti anak kecil yang tidak tahu apa2. Dan di novel Digital Fortress ini banyak uraian yang bentuknya seperti ini.

Alur ceritanya juga lambat, tidak sesuai dengan genre thriller gaya cepat yang selama ini menjadi ciri khasnya DB. Terasa sekali bahwa DB agak terjebak antara adanya tuntutan padatnya informasi yang harus disampaikan dan tuntutan untuk membuat novel ini menjadi suspense. Berbeda sekali dengan novel sebelumnya, dimana dia dengan sangat rapi dan cerdik dan luwes menyelipkan informasi2 pendukung disela2 cepatnya irama suspense. Saya akhirnya bertanya2 kenapa DB mengalami penurunan kualitas seperti ini? Apa dia mulai terjebak dengan tuntutan industri yang menginginkan dia mencetak lagi novel2 best seller?

Ternyata, Digital Fortress ini adalah novel pertama DB yang dia tulis setelah terinspirasi untuk membuat karya yang lebih baik dari karya Sidney Sheldon yaitu Doomsday Conspiracy. Motivasi awal yang baik. Kemungkinan tema di cerita ini diambil karena DB cukup dekat dengan dunia matematika, prinsip2 alogaritma dan juga latar belakangnya sebagai guru bahasa. Sebelum memutuskan untuk total menekuni dunia tulis menulis, DB adalah seorang guru bahasa Inggris dan Spanyol. Ayahnya adalah seorang ahli matematika yang menulis buku teks matematika dan juga seorang guru. Novel pertamanya ini diterbitkan tahun 1998, dua tahun berikutnya terbit novel keduanya Angel and Demon, tahun 2001 muncul novel ketiganya yaitu Deception Point. Ketiga novel ini tidak terlalu sukses di pasaran, dengan hanya mencapai 10.000 copy untuk masing2 judul. Novelnya yang keempat-lah yang terbit tahun 2003, Da Vinci Code, yang mampu mendongkrak seluruh penjualan semua judul novelnya.

Akhirnya saya sedikit mendapatkan penjelasan mengapa gaya bertutur DB terasa sangat kaku dan janggal di novel ini. Tapi terus terang, saya takjub dengan kemajuan yang dia raih selama kurun waktu dua tahun sampai terbitnya Angel and Demon. Di novel ini, DB sudah menemukan ciri khasnya dalam bercerita yang sanggup membuat pembacanya percaya akan semua informasi yang dia sampaikan sebagai sebuah hal yang nyata. Untuk pembaca pun dia memberikan ruang untuk berimajinasi dan berintepretasi dan juga menebak2. Dan saat ini saya sedang menunggu terbitnya novel DB yang ketiga yaitu Deception Point.

Akhirnya, dari ketiga novel DB yagn sudah saya baca, saya menemukan persamaan yang selalu muncul dalam karakteristik tokohnya. Selalu ada sepasang tokoh protagonis, laki2 dan perempuan, dua2nya menarik, berintelektual tinggi dan punya latar belakang pendidikan yang fantastis. Satu hal yang pasti, si perempuan mengambil konsentrasi pendidikan ilmu2 pasti dan science sedangkan si laki2 mendalami ilmu sosial, bahasa dan budaya. Sedikit bertolak belakangan dengan kebiasaan2 pengarang2 lain, mengingat novel2 ini ditulis oleh seorang pria. Kekaguman pada potensi dan kekuatan wanita mungkin?

Wednesday, May 03, 2006

Diri Sendiri dan Kematian

Beberapa hari yang lalu, seseorang - bukan seorang yang patut dihormati, terus terang saja, bertanya pada saya tentang sebuah pertanyaan. "Apa yang paling berat kita hadapi?", demikian pertanyaan yang terlontar darinya. Tanpa ragu saya jawab, "Diri sendiri".

Pengalaman yang terlalui selama ini mengajarkan pada saya bahwa sering kali - setiap saat - diri kita sendiri yang membuat kita menderita, bukan orang lain atau hal-hal di luar diri kita. Karena diri sendiri pula kita selalu dengki, iri atau merasa paling sial sedunia, atau menganggap bahwa sekeliling kita itu tidak pernah mendukung kita.

Ketika jawaban itu saya lontarkan, orang tersebut menyalahkan saya dengan menyebut jawaban yang benar - menurut dia, tentu saja, yaitu "Kematian".

"Mengapa?"

"Karena kita merasa paling berat ketika harus menghadapi kematian atau memikirkan kematian".

"Kalau memang begitu, mengapa banyak orang yang sedang dalam kekalutan akhirnya memilih untuk mati? Mengapa mereka merasa lebih ringan ketika memilih mati daripada hidup?"

"Karena mereka adalah orang-orang yang putus asa".

"??? (so???...)"

Terus terang saja saya sangat, sangat tidak puas dengan jawaban yang sedemikian dangkalnya dari orang yang mengaku sebagai guru ngaji atau motivator itu. Lalu saya bertanya lagi

"Ya, tapi mengapa akhirnya mereka memutuskan bahwa kematian menjadi solusi dan hal yang meringankan?"

"Kita berat menghadapi kematian karena kita tidak tahu hukuman apa yang menanti kita setelah kita mati, kita tidak tahu bagaimana neraka akan menghabisi kita. Banyak orang yang meninggal berdoa supaya mereka bisa dihidupkan lagi."

Duh, kenapa kita selalu menyalahkan neraka? Kenapa kita selalu mengasosiasikan kematian dengan hal yang hal yang menyeramkan? Saya tidak bertanya hal lain tentang fenomena mati syahid (betapa banyak orang yang merindukan mati syahid) atau tentang bom bunuh diri. Saya tidak tahu jawaban macam apa yang akan dia lontarkan.

Lalu saya tersadar, ini sepertinya masalah pola pikir, masalah mind set yang secara tidak sadar selalu memikirkan hal2 yang negatif tentang segala hal. Ini yang sering membuat kita berat menjalani hidup, ini yang membuat kita merasa menderita atau sial. Ambil contoh saja masalah kematian ini, kita kan bisa mengasosiasikan kematian dengan surga, dengan sebuah kesempatan besar untuk bertatap muka dengan Tuhan dan para RasulNya dan para Anbiya. Diri kita sendiri yang membuat kita takut menghadapi kematian, bukan kematian itu sendiri. Almarhum Munir pernah bilang, kita jangan merasa takut untuk menghadapi sesuatu tapi takutlah pada ketakutan itu sendiri, karena ketakutan itu yang menghalangi kita untuk bertindak (mungkin kalimatnya tidak persis seperti ini)

Kita memang tidak akan pernah tahu apa yang akan kita hadapi dalam kehidupan setelah mati. Yang kita tahu saat, kita akan menjalani kehidupan yang menyenangkan (surga) atau yang menyeramkan (neraka) sesuai dengan amal dan tabungan kita saat ini. Lalu, kalau pun saat ini perbuatan amal ibadah saya dan tabungan saya belum cukup untuk menggapai surga, entah ukuran sesuai tidaknya ini menurut standar siapa, apakah saya kemudian harus berpikir saya tidak layak mendapatkan kehidupan yang bahagia setelah mati? Tidak, saya memilih untuk berpikir bahwa saya layak bertemu dengan Tuhan dan saya layak mendapatkan kehidupan after life yang membahagiakan.