Wednesday, May 03, 2006

Diri Sendiri dan Kematian

Beberapa hari yang lalu, seseorang - bukan seorang yang patut dihormati, terus terang saja, bertanya pada saya tentang sebuah pertanyaan. "Apa yang paling berat kita hadapi?", demikian pertanyaan yang terlontar darinya. Tanpa ragu saya jawab, "Diri sendiri".

Pengalaman yang terlalui selama ini mengajarkan pada saya bahwa sering kali - setiap saat - diri kita sendiri yang membuat kita menderita, bukan orang lain atau hal-hal di luar diri kita. Karena diri sendiri pula kita selalu dengki, iri atau merasa paling sial sedunia, atau menganggap bahwa sekeliling kita itu tidak pernah mendukung kita.

Ketika jawaban itu saya lontarkan, orang tersebut menyalahkan saya dengan menyebut jawaban yang benar - menurut dia, tentu saja, yaitu "Kematian".

"Mengapa?"

"Karena kita merasa paling berat ketika harus menghadapi kematian atau memikirkan kematian".

"Kalau memang begitu, mengapa banyak orang yang sedang dalam kekalutan akhirnya memilih untuk mati? Mengapa mereka merasa lebih ringan ketika memilih mati daripada hidup?"

"Karena mereka adalah orang-orang yang putus asa".

"??? (so???...)"

Terus terang saja saya sangat, sangat tidak puas dengan jawaban yang sedemikian dangkalnya dari orang yang mengaku sebagai guru ngaji atau motivator itu. Lalu saya bertanya lagi

"Ya, tapi mengapa akhirnya mereka memutuskan bahwa kematian menjadi solusi dan hal yang meringankan?"

"Kita berat menghadapi kematian karena kita tidak tahu hukuman apa yang menanti kita setelah kita mati, kita tidak tahu bagaimana neraka akan menghabisi kita. Banyak orang yang meninggal berdoa supaya mereka bisa dihidupkan lagi."

Duh, kenapa kita selalu menyalahkan neraka? Kenapa kita selalu mengasosiasikan kematian dengan hal yang hal yang menyeramkan? Saya tidak bertanya hal lain tentang fenomena mati syahid (betapa banyak orang yang merindukan mati syahid) atau tentang bom bunuh diri. Saya tidak tahu jawaban macam apa yang akan dia lontarkan.

Lalu saya tersadar, ini sepertinya masalah pola pikir, masalah mind set yang secara tidak sadar selalu memikirkan hal2 yang negatif tentang segala hal. Ini yang sering membuat kita berat menjalani hidup, ini yang membuat kita merasa menderita atau sial. Ambil contoh saja masalah kematian ini, kita kan bisa mengasosiasikan kematian dengan surga, dengan sebuah kesempatan besar untuk bertatap muka dengan Tuhan dan para RasulNya dan para Anbiya. Diri kita sendiri yang membuat kita takut menghadapi kematian, bukan kematian itu sendiri. Almarhum Munir pernah bilang, kita jangan merasa takut untuk menghadapi sesuatu tapi takutlah pada ketakutan itu sendiri, karena ketakutan itu yang menghalangi kita untuk bertindak (mungkin kalimatnya tidak persis seperti ini)

Kita memang tidak akan pernah tahu apa yang akan kita hadapi dalam kehidupan setelah mati. Yang kita tahu saat, kita akan menjalani kehidupan yang menyenangkan (surga) atau yang menyeramkan (neraka) sesuai dengan amal dan tabungan kita saat ini. Lalu, kalau pun saat ini perbuatan amal ibadah saya dan tabungan saya belum cukup untuk menggapai surga, entah ukuran sesuai tidaknya ini menurut standar siapa, apakah saya kemudian harus berpikir saya tidak layak mendapatkan kehidupan yang bahagia setelah mati? Tidak, saya memilih untuk berpikir bahwa saya layak bertemu dengan Tuhan dan saya layak mendapatkan kehidupan after life yang membahagiakan.