Monday, April 24, 2006

Sesi Pencerahan (Really...???!!!)

Minggu ini adalah minggu saya memberitahukan pada seluruh kantor tentang keputusan saya untuk resign dan memilih untuk bergabung dengan perusahaan lain sejenis. Penerimaan seluruh anggota kantor kurang lebih sama, bisa memahami keputusan saya dan ada ungkapan rasa kehilangan mengingat saya sudah bersama dengan mereka selama satu setengah tahun. Pemberitahuan ini bertepatan dengan acara non rutin (atau mungkin bisa saya sebut sebagai acara dadakan yang diadakan secara sepihak) yang diatur oleh atasan saya. Acara yang diprakarsainya ini disebutnya sebagai acara sesi pencerahan.

Pada hari yang telah ditentukan, dengan waktu yang molor sekitar 1 jam (keadaan yang paling menyebalkan karena saya selalu berusaha untuk on time), acara itu dimulai. Atasan saya menghadirkan dua orang, satu sebagai pembicara dan satu orang lagi sebagai asisten pembicara tersebut (mungkin lebih tepat disebut sebagai ajudan karena sepanjang pertemuan tidak ada satu hela suara yang terdengar darinya). Pembicara itu bernama Pak Sugi, tidak ada keterangan sedikit pun apa profesinya kecuali keterangan darinya bahwa dia ada di kantor kami karena ingin membantu atasan saya untuk meningkatkan profit perusahaan. Ada kesan bahwa dia adalah guru ngaji (karena pembahasannya selalu dikaitkan dengan ayat2 Al Quran) dan juga sekaligus motivator (karena dia menyampaikan beberapa fakta bahwa banyak 'murid2' yang berhasil berkat ajaran2nya (tapi ini tidak didukung dengan bukti yang nyata)).

Secara pribadi, saya sendiri cukup tertarik dengan gambaran materi yang disampaikan, karena dikaitkan dengan ayat2 AlQuran dan juga telaah dari kalimat Bismillaahirrohmaanirrohiim. Saya menganggap acara ini sebagai media untuk memperdalam pengetahuan agama saya yang memang masih dangkal dan sebagai media untuk lebih memahami diri saya sampai saat ini.Dengan berbekal niat dan prasangka baik inilah saya mengikuti sesi pencerahan tersebut tanpa banyak keberatan.

Entah kenapa di sesi ini dari awal dia selalu 'melibatkan' saya sebagai dari faktor pendukung penyampaian materinya. Oke, teman2 saya yang lain juga dilibatkan dalam sesi ini tapi kalau saya perhatikan sepertinya porsi yang paling banyak ditanya dan dimintai pendapatnya adalah saya (dan teman saya, Komang). Tapi makin lama makin terasa bahwa dia tidak lagi berusaha melibatkan saya tapi akhirnya menjadi menyerang saya, terutama ketika terungkap fakta bahwa sebentar lagi saya akan resign. Mulailah dia 'menghakimi' saya dengan bertanya apakah saya mendapatkan gaji yang lebih baik sehingga saya mau menerima tawaran dari perusahaan lain? Saya jawab ya, karena adalah bodoh kalau saya menolak tawaran yang lebih baik, selama tawaran itu tidak bertentangan dengan prinsip saya. Kemudian dia mengatakan bahwa rupanya saya mendahulukan perasaan negatif saya dan juga ketidakpuasan saya terhadap kantor ini sehingga saya menerima tawaran dari tempat lain. Saya 'dituduh' tidak berusaha dengan bersungguh2 dalam bekerja tapi malah sibuk mempermasalahkan ketidakpuasan saya dan mencari2 tempat lain yang bisa memuaskan saya. 'Beliau' menekankan bahwa saya tidak akan pernah puas dan berbahagia bekerja di kantor mana pun bila saya tetap mempunyai pola pikir yang seperti itu. Upacara penghakiman ini kemudian makin diperjelas dengan perintahnya (dan juga perintah atasan saya) agar saya membacakan tafsir dari beberapa ayat AlQuran yang dipilihnya. Hmm, acara ini mulai melenceng dari agenda....

Sepertinya setiap staff di kantor (dengan mengecualikan satu orang yang merupakan anggota keluarga atasan) dituduh tidak berusaha dengan sungguh2 dalam bekerja dan mencapai target perusahaan sehingga akhir-akhir ini muncul banyak masalah yang terwujud dalam bentuk keluhan2 dari klien. Bahwa kami selalu mengedepankan perasaan kami dalam bekerja dan tidak bersungguh2 mengoptimalkan kerja otak kami, dimana sesungguhnya, menurutnya, bila otak telah terbuka maka kami akan bisa mencapai semua yang kami inginkan (dalam hal ini adalah keinginan atasan kami untuk meningkatkan profit perusahaan).

Dari awal sesi pertemuan, selalu hal-hal negatif yang diungkapkan oleh atasan kami dan orang itu. Saya agak menyesali hal ini karena tanpa pertimbangan dan pengetahuan yang baik tentang diri kami, orang itu selalu menyerang kami. Saya agak meragukan apakah ada diantara kami yang benar2 mendapatkan pecerahan dari apa yang disampaikannya. Dan saya agak kecewa bahwa ternyata cara pandang atasan kami tetap sama saja sejak dahulu terhadap kami. Kami jarang menerima feedback positif dari semua yang sudah kami lakukan. Kami mungkin berbuat salah atau melakukan tindakan bodoh dalam bekerja. Kami tahu bahwa menjalankan perusahaan adalah sesuatu yang rumit dan membutuhkan banyak energi yang harus dikeluarkan atasan kami. Kami juga menyadari bahwa atasan kami sudah berusaha menjadi atasan yang baik, dimana hal itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Tapi dibalik semua kerepotan dan kelelahannya dalam mengelola perusahaan, kami tetap sangat membutuhkan feedback positif dan juga apresiasi yang baik terhadap hasil usaha kami. Meeting yang kami lakukan selalu berkisar pada meeting target, meeting produksi dan juga meeting untuk memperbaiki kesalahan. Sepanjang saya ingat, jarang ada meeting yang dikhususkan untuk membahas usaha positif kami.

Dalam sesi pencerahan itu secara eksplisit disebutkan bahwa Allah SWT selalu memberikan yang terbaik untuk kita bila kita selalu yakin dan berpikir positif terhadapNya. Tapi tak pernah satu kalimat pun terucap yang menggambarkan pikiran positif dan keyakinan terhadap kami (atau saya) dari orang itu dan juga atasan saya. Bagaimana mungkin kami bisa berpikir positif terhadap diri kami dan juga terhadap orang lain bila kami selama ini selalu diberi masukan negatif akan diri dan usaha kami? Bagaimana kami bisa yakin terhadap atasan kami bila ternyata atasan kami pun meragukan kami? Dan sekarang kami harus rela berkorban jiwa dan raga mendukung setiap langkah atasan kami tanpa kami pernah diberi apresiasi dan keyakinan positif akan diri kami? Mungkinkah????

Saya tahu dan merasakan sendiri kekuatan dari berpikiran positif dan juga keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT selalu memberikan yang terbaik untuk saya (dan hal ini juga berlaku untuk semua makhluk hidup). Karena kekuatan keyakinan saya itu makanya saya mendapatkan tawaran yang lebih baik tanpa pernah saya memintanya. Saya akui saya memang selalu mencari-cari kesempatan dan peluang yang lebih baik selama ini, tapi apa daya, tak satu pun yang berhasil, semuanya gagal. Tapi ternyata kemudian tawaran yang saya inginkan datang begitu saja tanpa pernah saya mencarinya. Itu terjadi ketika saya akhirnya memasrahkan semuanya padaNya dan menumbuhkan keyakinan bahwa Dia akan selalu mendampingi saya sampai kapan pun dan bahwa saya tidak akan tersia-sia di dunia ini. Hasilnya? Tanggal 3 Mei 2006 esok saya mulai bergabung dengan perusahaan lain yang Insya Allah sesuai dengan apa yang saya inginkan saat ini.

Sesi kemarin itu memberikan pencerahan yang berbeda untuk saya pribadi, saya makin tercerahkan bahwa apa yang saya jalani ini adalah benar dan bahwa keputusan saya untuk berhenti adalah tepat. Untuk 'beliau sang guru ngaji' itu, alangkah baiknya bila dia bisa menyelaraskan antara teori yang diciptakannya dengan tindakan dan ucapannya. Alangkah baik bila dia bisa mulai belajar untuk melihat sisi positif dari tiap orang yang diajarnya, sesuai dengan ucapannya bahwa dia selalu berpikir positif terhadap Allah SWT. Karena, mungkinkah Allah SWT menyukai hamba-hambaNya yang lebih terpicu oleh hal-hal negatif tanpa pernah mencoba menggali nilai positif yang ada dalam tiap hal? Dan mungkinkah kita mulai berpikir positif tentang Allah SWT bila kita tidak pernah belajar berpikir positif terhadap diri kita dan juga orang lain?

Monday, April 17, 2006

Miss Komplen

Teman-teman saya di kantor menyebut saya sebagai Miss Komplen. Entah saya harus bangga atau protes dengan sebutan ini, tapi yang jelas saya memang suka komplen. Eitss, jangan negative thinking dulu dengan kata 'komplen' (complain - english...), karena saya komplen tidak sembarang komplen. Saya cuma selalu berusaha mendapatkan hak-hak saya terutama sebagai customer/pelanggan. Sudah spesifik kan maksud dari komplen disini?

Dulu sih saya sering hanya memendam kekesalan ketika saya diperlakukan dengan tidak semestinya di department store atau ketika hak-hak saya sebagai konsumen diabaikan, misalnya nih, diserobot ketika antri di kasir atau menerima service yang tidak bermutu dari pramuniaga toko. Tapi sejak saya belajar asertif dan membaca satu artikel di Majalah Cosmopolitan, saya mulai tuh, menyuarakan secara jelas keluhan2 saya pada pihak yang bersangkutan. Saya pikir sangatlah tidak enak bila saya cuma bisa menggerundel tapi tidak ada tindakan kongkrit yang saya lakukan untuk mendapatkan hak saya itu.

Mungkin banyak orang lain yang tidak peduli dengan masalah ini dan memilih untuk menggerundel panjang pendek, tapi saya orang yang menghargai uang yang saya belanjakan karena saya merasakan susahnya mencari dan menabung uang. Saya membeli barang tidak asal membeli atau karena impulsif semata, tapi saya berbelanja dan membelanjakan uang karena memang ada tujuannya. Ketika saya tidak mendapatkan tujuan yang saya cari itu, maka saya harus mengevaluasinya dan kemudian mencari langkah kongkrit untuk mengatasi hambatan dan mengantisipasi supaya tidak terjadi lagi.

Contoh paling terbaru adalah minggu lalu ketika saya akan membeli kosmetik di sebuah supermarket besar (Matahari Supermarket di Plaza Atrium, saya sebut aja deh) di dekat kantor saya. Ketika sampai di konter kosmetik, saya bertanya ke satu2nya penjaga konter itu tentang merek kosmetik yang saya cari itu. Karena ternyata ada banyak merek kosmetik di lemari pajangan yang terkunci maka saya harus minta bantuan SPG tersebut, agak makan waktu bila saya harus mencari sendiri. Ketika dia membuka lemari pajangan untuk mencari barang yang saya maksud, saya memberikan penjelasan panjang lebar tentang ciri2 kosmetik itu. Tapi ketika dia tidak menemukan barangnya dia langsung mengunci lemari itu lagi, padahal dia tahu saya masih disitu dan bertanya2.

Spontan saya minta dia untuk membuka lemari itu lagi karena saya masih mau lihat2. Sambil melihat2 saya masih juga mengajak SPG itu untuk ngobrol dan bertanya ini itu (tidak salah kan, namanya juga SPG ya memang tugasnya untuk menjawab pertanyaan saya). Tapi rupanya dia kesal dengan pertanyaan2 saya dan balik bertanya (saya tulis dialog2 yang terjadi dengan kalimat langsung supaya lebih dramatis)

Saya: 'Masa pelembabnya gak ada sih Mbak, biasanya jadi satu dengan seri2 White yang ini'
SPG: "Nah, Mbaknya liat gak barangnya ada disini? Kalo gak ada ya berarti barangnya emang kosong" (dengan nada sebal dan alis berkerut)
Saya: "Loh, karena saya tidak tahu barangnya ada dimana makanya saya tanya sama anda"
SPG: "Saya gak tau barangnya ada atau gak" (masih sebal dan alis berkerut)
Saya: "Kan anda yang penjaga disini kok bisa tidak tahu? lalu saya harus bertanya sama siapa kalau bukan dengan anda?"
SPG: "Saya gak tau, karena bukan saya yang jaga kosmetik ini, saya cuma bantu Mbak buka lemarinya aja" (makin sebal dan makin berkerut)
Saya: ?????
Saya: "Ya, udah, saya gak jadi beli" (sambil meletakkan keranjang belanjaan saya sembarangan di lantai)

Dengan emosi dan merasa diremehkan, saya mencari manager on duty atau siapa pun yang bisa saya tuju untuk menyatakan keluhan saya itu. Hampir saja saya tak sabar menunggu, tapi akhirnya datanglah seorang pria yang menjabat sebagai supervisor. Saya ceritakan kronologis kejadian dan perlakuan yang baru saya terima. Supervisor itu ternyata meminta saya untuk memberitahukan SPG mana yang telah berlaku tidak ramah itu dan saya tunjuk saja konternya. Si supervisor itu kemudian menghampiri SPG jutek itu dan memintanya menceritakan kejadian barusan. Untungnya saya ikut menghampiri SPG itu dan mendengarkan kesaksiannya karena ada beberapa bagian yang dia lebih2kan dan dia sangat defensif. Sambil mengomel panjang pendek SPG itu menceritakan versinya, sampai kuping saya panas sendiri.

Akhirnya saya hanya bilang pada supervisor itu, "Pak, let's drop the case, anda lihat sendiri bagaimana sikap dia sekarang ini di depan kita, dan kira2 seperti itulah service yang saya terima tadi. Anda bisa menilai sendiri bagaimana kualitas SPG anda dalam melayani pelanggan".
Saya memang mengatakan pernyataan tersebut di depan SPG yang bersangkutan dan karena memang kualitas personalnya yang tidak layak, si SPG makin marah dan mengomel kiri kanan. Saya akhirnya berlalu setelah puas bisa menyatakan keluhan saya dan sekaligus memperlihatkan kualitas SPG tersebut.

Itu hanya salah satu contoh sederhana, saya pernah komplen juga di McDonald's dan saya mendapatkan satu paket ayam McD setelah saya komplen (enaknya....), saya juga selalu mencari customer service pengelola gedung kantor ketika ada kondisi gedung yang tidak memberikan kenyamanan kepada tenants, dan saya juga berani meminta ganti barang rusak kepada supermarket atau department store (saya anggap ini sebuah kemajuan dan kesadaran karena kalau dulu saya cuek saja). Mungkin yang masih saya harus pelajari adalah bagaimana menyampaikan keluhan saya itu dengan cara yang lebih elegan dan efektif, karena kalau saya tidak tahan2 yang keluar adalah omelan dan kekesalan saya.

Saya pikir komplen itu bukan sesuatu yang negatif, karena dari komplen2 pelangganlah, pihak2 yang terkait akan mendapatkan feedback secara jujur dan spontan, sehingga mereka bisa lebih membenahi diri dan memperbaiki service kepada pelanggan. Ujung2nya kan pasti peningkatan income buat mereka karena memberikan sesuatu yang lebih pada pelanggan, dan yang terutama adalah loyalitas pelanggan yang bukan hal mudah untuk diraih. Buat saya pribadi, karena saya membiasakan diri untuk asertif, saya saat ini jadi lebih teliti dalam membeli, dan lebih bisa menghadapi "tekanan" dari pihak penyedia jasa. Tapi saat ini yang jadi PR buat saya adalah asertif kepada sopir kopaja P20 jurusan Lebak Bulus - Senen yang sering seenaknya sendiri mengoper2 penumpang tanpa belas kasihan. Mungkin gak ya???

Tuesday, April 11, 2006

Playboy

Hari ini, 7 April 2006, Playboy Indonesia mulai menyebarkan edisi perdananya. Dari awal rencana penerbitan sudah banyak suara2 menentang. Isu yang terlontar dengan terbitnya Playboy Ind adalah potensi kemerosatan moral generasi muda. Dan ada rencana dari pihak FPI (Front Pembela Islam) untuk menyikat habis peredaran majalah ini, kalau perlu memberantas habis sampai kantor redaksinya (berita lihat di detik.com). Sedangkan MUI sepakat untuk menduduki kantor redaksi Playboy Ind untuk menghentikan penerbitannya

Menurut saya ada yang aneh dengan reaksi dari beberapa pihak tersebut. FPI dengan respon mereka yang selalu melakukan tindakan destruktif tanpa pernah melakukan tindakan2 yang konstruktif, atau MUI yang akan melakukan tindakan aneh itu, atau pihak pemerintah yang jelas terlihat punya sikap mendua untuk masalah ini dengan mempertimbangkan untuk mengeluarkan SK (hellooooo, kemana aja kemarin2, bang???). Kenapa ya mereka2 ini kok selalu hanya bisa bereaksi defensif, tidak antisipatif?

Lagipula, kenapa mereka hanya bisa mengangkat isu kemorosotan generasi muda? Bukannya ini isu yang sudah kadaluarsa? Sejak kapan mereka pernah mengatakan moral generasi muda Indonesia itu baik, dari dulu kan mereka hanya bisa mengkritik dan mengomentari kondisi generasi muda dari sisi yang jelek2 saja, dan jarang mengungkap kondisi yang baik atau prestasi yang dilakukan generasi muda. Padahal banyak sekali prestasi dan dan perbuatan membanggakan yang sudah dilakukan anak muda bangsa, tapi lewat begitu saja dari pengamatan generasi2 tua yang merasa dirinya baik dan benar itu.

Kenapa ya kita itu (bukan hanya mereka) selalu mudah bereaksi dengan hal2 yang negatif dan sering melakukan tindakan yang defensif? Kalau sampai Playboy bisa terbit di Indonesia berarti menang ada yang tidak beres dengan peraturan media kita. Jauh sebelum Playboy terbit, berapa banyak tabloid2 yang isinya hanya menonjolkan model2 telanjang dan artikel2 pembangkit nafsu bisa terbit dengan bebas? Makin hari makin banyak tabloid2 jenis itu yang beredar dan sangat mudah untuk mendapatkannya. Tapi kenapa tidak ada reaksi keras dari para pihak2 itu untuk menghentikannya? Kenapa baru sekarang? Terus terang saya jadi meragukan itikat mereka, ini niat yang murni atau ada motif2 lain di belakangnya?

Saya sempat mengomentari tindakan2 mereka yang menentang Playboy itu dengan komentar yang, yahhh... mungkin pedas dan memojokkan, sampai2 teman saya protes dan menyuruh saya untuk tetap respek terhadap mereka. Oke, saya akui komentar saya agak berlebihan, tapi kalau saya diminta untuk memberi mereka penghormatan, waduh, saya sama sekali tidak bersedia. Buat apa saya respek terhadap pihak2 yang hanya bisa protes, hanya bisa bereaksi negatif tanpa pernah berpikiran terbuka dan introspeksi? Buat apa kita mengikuti pola pikir orang2 yang hanya bisa menghujat tapi tidak bisa memberikan solusi kongkrit untuk mencegah terjadinya kejadian serupa? Apa pentingnya meneladani pihak2 yang tidak bisa mengambil keputusan tegas dan selalu bertindak secara ambigu. Contohnya seperti tadi saya sebut: mereka berteriak2 dan melakukan tindakan untuk membredel Playboy tapi di lain pihak mereka juga tidak peduli dengan bertebarannya tabloid2 panas perangsang nafsu lelaki atau tayangan2 di televisi yang makin buruk kualitasnya untuk ditonton anak2. Terus terang saya lebih bersedia membeli Playboy dibandingkan tabloid panas kacangan dengan kualitas kertas, gambar, penampilan model, dan berita yang murahan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Entah kapan para pihak2 yang gemar berteriak2 itu sadar bahwa 'Fenomena Playboy' ini sebenarnya adalah saat yang tepat untuk berintrospeksi dan berpikir jernih. Kejadian2 semacam ini sesungguhnya adalah sebuah peringatan bahwa selama ini ada tindakan kita yang salah dan melenceng dan kita juga sadar tidak sadar juga punya kontribusi sampai akhirnya kejadian2 macam itu muncul. Dan kita juga bisa memilih untuk memandang masalah seperti ini sebagai alat kita untuk lebih memperbaiki diri di masa depan, merumuskan tindakan2 kongkrit untuk bisa membuat lingkungan kita menjadi lebih baik dan terutama membuat diri kita menjadi manusia2 yang lebih baik dan bisa menjadi teladan buat anak2 kita.

Thursday, April 06, 2006

Pencarian

Bolehkah saya mengatakan bahwa Tuhan adalah keseimbangan? Nama-nama suci Tuhan yang 99 buah itu memperlihatkan keseimbangan, ada nama yang lembut dan begitu menenangkan serta ada nama yang perkasa dan menakutkan. Tercermin juga di alam semesta ini; siang dan malam, matahari dan bulan, terang dan gelap, malaikat dan iblis, perempuan dan laki- laki, kejahatan dan kebaikan. Keseimbangan ini pun ada dalam diri kita, lihat saja konsep yin dan yang, maskulin dan feminin, keseimbangan elektrolit dalam darah, keseimbangan gula dan kadar lemak. Kita pun tercipta dari dunia yang seimbang; laki-laki dan perempuan, sperma dan sel telur; membuahi dan dibuahi. Jadi keseimbangan Tuhan terwujud dalam diri kita, dan bila kita bisa mencapai keseimbangan berarti kita mempunyai jalan untuk mengenal, bertemu dan berkasih cinta dengan Tuhan.

Mencapai keseimbangan sungguh suatu hal yang membutuhkan tekat dan niat, dan bila kita sudah merasakan keseimbangan kita bisa melihat surga di dunia yang tak abadi. Semua orang ingin seimbang tapi kita sering lupa bahwa Tuhan bisa menunjukkan jalan keseimbangan menuju ke dunia kasih sayangNya. Dan sesungguhnya semua peristiwa dalam hidup kita adalah jalan yang disediakan olehNya supaya kita mampu merasakan kehadiran dan cintaNya. Namun ternyata sebagian besar kemampuan kita hanya bisa mencerna sedikit dari pesan Tuhan dan kita berakhir dengan menyalahkan Tuhan.

Tuhan ingin kita selalu belajar dalam mencapai keseimbangan supaya kita bisa selalu menghargai upaya kita, menghargaiNya dan yang terpenting dari keinginan Tuhan adalah supaya kita bisa menghargai diri kita sendiri. Karena kita harus selalu belajar maka Tuhan selalu menyelipkan pesan-pesanNya secara implisit pada setiap hal yang terjadi pada diri kita. Hanya orang yang mau belajar dan menggali sedikit lebih banyaklah yang akhirnya layak menerima pesan Tuhan.

Tuhan lebih jauh mengenal kita dari pada kita mengenalNya dan mengenal diri sendiri. Dan Tuhan tahu betapa kita merindukanNya dan selalu ingin dekat denganNya, dengan cara kita masing-masing. Kita mungkin sering tidak sadar mencemooh para pelacur, para pengguna narkoba atau orang2 yang sering keluar masuk tempat2 hiburan, sebagai orang yang tidak mengenal Tuhan. Padahal bisa saja mereka adalah sekelompok orang yang sedang sibuk mencari keseimbangan dan mati-matian mencari Tuhan, hanya saja mereka tidak tahu cara lain selain yang biasa mereka lakukan. Tuhan menerima pencarian mereka dan setia menunggu mereka.

Meniti jalan Tuhan tidak hanya kita temui dalam pengajian, dalam ceramah dan khotbah, dan semua ritual religius lainnya. "Jalan menuju Tuhan itu sebanyak jumlah umat manusia di dunia ini", begitu kata pepatah sufistik. Jalan keseimbangan mungkin menampakkan dirinya dalam kebisingan tempat-tempat hiburan, dalam kesunyian rumah kosong, dalam perbincangan para penjaga malan, dalam ributnya angin topan, dalam riuh rendahnya suara anak-anak bermain, bahkan dalam peperangan yang tiada henti.

Pencarian kita akan Tuhan tidak akan pernah berhenti karena Tuhan tidak akan pernah membiarkan kita melupakanNya. Dan ketika kita tak tahu lagi dengan cara apa lagi kita harus mencapaiNya, maka diam dan tenanglah sejenak untuk mendengarkan nurani, karena Tuhan hanya berbicara pada kita melalui nurani, satu-satunya tempat paling putih diantara hitamnya hati kita......

Wednesday, April 05, 2006

Huruf 'I' dan 'O'

Pernah memperhatikan nama-nama orang Indonesia? Nama Indonesia asli lho, bukan nama-nama impor itu seperti Kayla, Raihan (nama ini paling banyak dipakai kalo dipikir2...), Salsa, Ayesha, dll. Yang saya maksud dengan nama Indonesia asli itu seperti Sri, Siti, Tono, Joko, dan nama-nama Indonesia lain. Mungkin saya menyorot secara spesifik nama Jawa dan Sansekerta. Dan perlu saya tekankan sebelumnya bahwa tulisan ini adalah ide yang muncul begitu saja, berdasarkan apa yang saya tahu dari bacaan2 dan gabungan pengalaman.

Hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar nama-nama Jawa (atau Indonesia) itu diakhiri dengan huruf I untuk nama perempuan dan huruf O untuk nama laki-laki. Kenapa bisa begitu ? Apa karena kesan yang ditimbulkan oleh suara yang dikeluarkan huruf2 tersebut? Coba pikir deh, kalau nama perempuan yang diakhiri dengan huruf I, kesan yang didapat itu adalah feminin dan lembut, dan kalau nama laki2 yang diakhiri dengan huruf O maka bayangan kita adalah sisi maskulin laki2. Kesan yang timbul akhirnya mengacu ke masalah Gender (biasa kan, hampir semua hal di sekitar kita berkaitan dengan masalah gender)

Ngomong-ngomong tentang gender (maaf kalau mau melantur sedikit, ini memang disengaja), apakah sebenarnya konsep itu sebagai sesuatu yang instingtual dan genetis atau konsep yang memang diajarkan (secara tidak sadar). Entah dari kapan mucul konsep tentang perempuan dan laki2 seperti itu. Kalau di luar negeri (eropa) konsep gender itu kan disebarluaskan oleh gereja (menurut salah satu buku gender yang saya baca, maaf lupa judulnya, dan juga menurut novel Da Vinci Code karangan Dan Brown ;p). Sedangkan geraja kan muncul setelah peradaban ada. Apakah sebelum muncul gereja tidak ada konsep gender? Hmmm, sepertinya perlu meneliti lebih jauh.

Okelah, bahasan di atas untuk saat ini kita jadikan wacana saja dulu. Kembali ke masalah huruf O dan I dalam sebuah nama Indonesia (sebenarnya saya ingin menuliskan huruf I terlebih dahulu, huruf O belakangan, tapi mungkin ini memancing isu2 gender lagi, ;p), saya jadi sedikit bertanya kenapa harus seperti itu ya? Apakah kalau seorang lelaki yang memiliki nama berakhiran I akan dianggap lebih feminin? Dan begitu pula sebaliknya? Sesungguhnya hal ini pun sempat terjadi pada anak laki2 saya. Nama lengkapnya Barmastya Bhumi dan saya lebih suka dia dipanggil Bhumi. Ada beberapa pertanyaan (kalau saya tidak mau menyebutnya sebagai protes) kok anak laki dipanggilnya Bhumi, kayak perempuan katanya. Kenapa tidak dipanggil Tio atau Barma saja? Namanya keras kepala ya tetap saja saya panggil anak saya Bhumi. Dan toh, sampai sekarang Bhumi ternyata punya sifat maskulin dan juga sifat feminin yang memang saya harapkan ada padanya. Pengaruh nama atau pengaruh pola asuh? Mungkin dua-duanya.

Mungkinkah ini ada masalah tentang kebutuhan dasar dan instingtual dalam diri manusia? Baru-baru ini saya menciptakan teori sendiri tentang masalah kebutuhan instingtual ini, yaitu teori kebutuhan (hmm, kapan saya melakukan penelitian empiris sampai berani menyebutnya sebagai teori? Percaya diri sekali!). Kalau didengar dari lafalnya, nama yang punya akhiran O dan I memang mengesankan maskulinitas dan femininitas dalam diri laki2 dan perempuan. Tapi kalau kita lihat dari bentuk tulisan huruf itu sendiri, saya jadi berpikir ulang lagi karena kesan yang didapat menjadi bertolak belakang. Huruf O mempunyai bentuk yang lembut dan lentur sedangkan huruf I bentuknya kaku dan ajeg. Dan kesan yang saya dapatkan adalah huruf O itu feminin dan huruf I itu maskulin. Bahkan sebenarnya huruf2 tersebut melambangkan organ reproduksi manusia, huruf O untuk vagina dan rahim, huruf I untuk penis.

Seseorang pernah bercerita pada saya bahwa banyak bentuk2 hasil karya manusia yang melambangkan organ reproduksi manusia. Ingat batu menhir? Itu adalah lambang penis, reproduksi laki2. Cawan atau wadah itu simbol dari rahim perempuan. Buku terlaris Da Vinci Code, juga mencoba menuturkan, secara fiksi, pada pembacanya bahwa secara tidak sadar kita sangat akrab dengan benda2 yang melambangkan reproduksi manusia. Kita tidak sadar karena ketiadaan ilmu dan sensivitas kita. Jadi menurut saya, berdasarkan teori kebutuhan tadi, nama-nama tersebut sebenarnya mencerminkan kebutuhan dasar yang ada pada manusia laki2 dan manusia perempuan. Perempuan membutuhkan laki2 dalam hidupnya dan laki2 membutuhkan perempuan. Kebutuhan ini tertuang salah satunya dalam bentuk nama yang diberikan pada anak laki2 dan perempuan. Saya menganggap ini sebagai kebutuhan yang instingtual karena manusia mencari pasangan yang bisa membantunya untuk meneruskan kehidupan. Dengan kata lain, manusia membutuhkan pasangan untuk bisa melakukan hubungan seksual secara benar. Dan kehidupan tak akan pernah terjadi dengan sempurna tanpa ada penyatuan perempuan dan laki2; seperti tidak ada materi yang tampak tanpa ada wadah dan isinya.

P.S. Ini tulisan sebenarnya masih ngaco, tapi saya bingung nulis apa lagi....

Napak Tilas Armani (II. Kami adalah...)

Kesukaan kami untuk melibatkan diri dalam aneka kesibukan di kampus otomatis membuat kami mengenal banyak teman dari berbagai angkatan. Dengan atmosfer kampus yang sangat mendukung pengembangan pribadi, kami menjadi lebih terbuka untuk menjalin pertemanan, baik dengan angkatan senior mau pun adik kelas. Kami percaya bahwa mereka suka untuk bergaul dengan kami dan adik kelas kami pun sering menuntut perhatian kami untuk memenuhi kebutuhan afeksi mereka (maaf lagi, karena ini murni pendapat kami tanpa mempertimbangkan masukan dari pihak lain). Yah, mungkin karena kami adalah sekelompok gadis2 manis yang selalu ingin menggali potensi diri, dan kami selalu hangat dengan semua orang.
Lihat saja Kika, dia ini adalah bintang balerina kami yang selalu mampu menyedot perhatian semua mata ketika dia sedang berjingkat-jingkat anggun menampilkan tariannya. Dalam sebagian besar pertunjukan musik di kampus, Kika sering diminta untuk menari. Tariannya memang spontan, tapi siapa yang peduli karena penarinya selalu menjiwai tariannya dan karena dia cantik. Selain cantik dan pintar menari, Kika itu teman yang sangat baik hati dan sering mendahulukan kepentingan dan kebahagiaan orang lain dibandingkan dengan kepentingannya sendiri. Wajar kan, kalau dia punya banyak penggemar. Tapi untunglah, sekarang Kika sudah bisa belajar untuk mendahulukan kebahagiaannya ketika memang hal itu penting untuk dilakukan. Buktinya, sekarang dia sudah bisa memantapkan hidupnya dengan mempunyai suami yang baik, anak yang sangat lucu dan pekerjaan yang stabil.
Kalau Kika adalah penari, maka Atiek adalah biduanita kami. Suaranya sebenarnya cukup mantap dengan vibra suara yang bagus, tapi sayang dia agak kurang menonjolkan bakatnya di kampus (kecuali ketika dia harus melatih kami menjadi penyanyi paduan suara yang solid dalam sekejap untuk pertunjukan operet tahunan di kampus). Tapi jangan tanya kegiatan nyanyi-menyanyi di luar kampus, dia sangat aktif dalam paduan suara alumni sekolahnya dulu sampai harus ikut berbagai lomba. Atiek adalah teman yang bisa menceriakan suasana dengan aktifitas bicaranya yang sudah sampai di level tinggi (kalau ini hanya bisa disaingi oleh Anne) sekaligus dengan komentar2nya yang yah...lucu tapi sering membuat kami terhenyak2. Dia ini termasuk anggota kami yang 'membatasi' kegiatan kampus dengan alasan rumah yang jauh, tidak mau repot dan malas menginap di rumah Armani. Tapi coba sekarang lihat, dia menjadi salah satu pihak yang paling suka repot dalam segala hal sampai kami terpaksa rela menjulukinya "miss repot' dan dia akan sangat berbahagia bila kami menugasinya untuk menyelenggarakan satu acara sederhana seperti acara makan2 ulang tahun tadi. Dengan segala kelucuan dan ke'tidakmaurepot'annya, Atiek adalah teman yang bisa diandalkan dan menyenangkan.
Untuk urusan organisasi, kita bisa belajar pada Anne, sang organisatoris handal. Sebagai orang yang selalu haus akan kesempatan untuk menggali potensi diri, Anne bisa dipastikan selalu hadir dalam hampir semua acara kampus. Ada keinginan dalam dirinya untuk selalu bisa mewujudkan ide-ide kreatif dan juga mimpi2nya. Siapa pun merasa tenang dan aman untuk mendelegasikan tugas2 seberapa pun beratnya kepada Anne karena dia selalu berusaha untuk bekerja sebaik mungkin. Sisi 'perfectionist manis' ini sekarang pun terlihat dalam profesi yang ditekuninya sekarang sebagai psikolog anak dan dosen, Anne selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi klien2nya dan juga mahasiswanya. Yang saya lihat, Anne sebenarnyan ingin supaya tiap orang menyadari haknya untuk bisa bahagia dan menggapai mimpi, sama seperti dirinya sekarang ini. Buat kami, Anne adalah teman yang bisa diandalkan dan sangat tepat untuk diajak berbagi.
Tentang Vina, dia adalah teman yang mungkin agak sulit kami pahami. Sama seperti kami, Vina juga suka terlibat aktif dalam acara kampus dan banyak yang menyayanginya karena dia bukan jenis orang yang suka menghakimi atau menilai orang lain sehingga orang merasa aman untuk berbicara dengan dia. Selain orang yang tanpa pamrih, Vina juga jenis orang yang bisa membuat suasana menjadi penuh tawa. Dia orang yang sangat humoris walau pun sering kali kami tidak bisa memahami jalan pikirannya dan membuat kami memutar otak bagaimana menghadapi orang seperti dia. Namun sayang, sekarang ini kami tidak bisa terlalu berharap Vina akan sering bersama kami, entah dengan pertimbangan apa Vina memutuskan untuk meminimalisir frekuensi pertemuannya dengan kami setelah dia menikah.
Saya sendiri sering dijuluki Nunung - Srimulat. Saya sendiri bingung kenapa, tapi kata semua orang yang saya tanya, julukan itu ada karena saya suka bertingkah laku seperti Nunung - Srimulat. Lah, saya sih tidak pernah merasa mengambil spesialisasi di Srimulat, saya bertingkah laku wajar dan memberikan komentar2 yang tepat, ya.. walau pun mungkin satu atau dua kali saya terkadang menjadi kecentilan. Kata Anne, saya punya pendirian yang kuat dan tidak mudah terpengaruh tapi sekaligus impulsif. Saya tidak tahu kadar kebenaran pendapat itu, walau pun saya mempercayai penilaian Anne (:p), tapi saya memang suka menjalani sesuatu yang membuat saya bahagia apa pun resikonya dan impulsifitas saya pun sampai sekarang masih sering membuat yang lain geleng kepala.
Bersambung...

Tuesday, April 04, 2006

Orang-orang Bodoh

Orang-orang bodoh itu bilang, "Pohon-pohon ini akan ditebang karena daunnya rontok semua, mengganggu sekali".
Sejak kapan daun rontok dari pepohonan yang tumbuh subur itu mengganggu?
Kenapa mereka lebih tahan dengan udara kering dan gersang dibanding dengan segarnya udara karena rimbunnya pohon?
Mengapa mereka mau bersusah payah mengeluarkan biaya mahal untuk AC dibandingkan dengan udara yang bersih dan dingin alami?

Orang-orang bodoh itu bilang, "Pohon-pohon ini akan ditebang karena kasihan yang menyapu daun2 rontoknya, dia capek".
Dari 24 jam sehari kira-kira berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyapu 3 batang pohon buah yang daunnya rontok itu?
Dari jumlah asupan makan tiap hari, berapa kalori yang akan dihabiskan untuk kegiatan menyapu 3 batang pohon yang daunnya rontok?
Apakah dia menyapu daun-daun rontok itu dengan tangannya? atau dengan sapu lidi yang pendek? Tidak, dia menyapu dengan sapu lidi dengan tangkai panjang yang memperingan kerja tulang punggungnya.

Kini, setelah pohon besar itu tertebang, bukan hanya daun rontok yang menghiasi pelataran parkir dan halaman. Daun-daun kering, debu beterbangan, ranting dan kayu bekas penebangan dan juga serpihan kayu-kayu halus. Udara panas dan gersang makin menghiasi halaman. Apa keadaan ini yang mereka inginkan dibandingkan kenikmatan duduk di halaman yang dinaungi pohon rindang dan udara yang menyejukkan? Apakah mereka lebih menyukai debu, panas, dan kegersangan?

Tidakkah mereka tahu dengan perasaan bahwa pohon-pohon dan tanaman itu selalu bernyanyi untuk manusia di sekelilingnya dan menyiramkan keindahan yang dan kedamaian yang dibutuhkan manusia? Pohon dan tanaman adalah contoh tiadanya pamrih. Tanpa perhatian berarti dari manusia, tanaman dan pohon bisa tumbuh dengan sangat baik dan kemudian memberikan seluruh kebaikannya untuk manusia. Sudah terbuka semua kerugian yang kita terima ketika kita bermusuhan dengan pepohonan. Lalu mengapa mereka dan kita tetap tertutup dengan kebaikan ini dan sering menganggap mereka sebagai gangguan?

Mengapa seringkali kita selalu mengabaikan seluruh kebaikan disekeliling kita dan yang kita miliki hanya demi keinginan kita yang belum tentu kita dapatkan? Mengapa kita selalu buta dengan keberuntungan kita dan menindasnya dengan ketakutan2 atau kekhawatiran kita? Dan kita selalu menyesal dan mengutuk diri kita ketika kita mulai kehilangan kebaikan dan keberuntungan itu tanpa sadar bahwa sebenarnya kita sendiri yang menghilangkannya.

Sekarang kita bisa memilih dan memutuskan apakah kita tetap menjadi bodoh atau membuang kedunguan kita dengan mulai menghargai semua yang kita miliki.....

P.S. For TMS

Napak Tilas Armani (I. Asal Usul)

Kamis minggu lalu, 30 Maret 06, kami - Armanian Girls yang terdiri dari Kika, Anne, Atiek, Atink, Vina dan saya - kembali berkumpul untuk melaksanakan ritual kepercayaan kami, makan-makan untuk merayakan ulang tahun beberapa personil kami. Yang agak berbeda kali ini adalah salah satu anggota kami, Vina, memilih untuk tidak hadir. Yah, kami dengan berat hati mengambil kesimpulan yang sepertinya memberatkan Vina karena Vina sepertinya semakin menjauh dari kami terutama sejak dia menikah. Yang penting saat ini kami tetap berusaha mencari tahu kabar dan keberadaan Vina

Armanian girls ini sebenarnya adalah salah satu peer group - kelompok pertemanan - yang ada di Fakultas Psikologi UI angkatan '94, kecuali Atink yang angkatan '93. Saya juga bingung kenapa ini Atink suka menyempil2kan dirinya diantara kami. Dulu kelompok kami ada sekitar 9 orang, kalau tidak salah ada saya, Anne, Kika, Atiek, Chicha, Ochy, Ruri, Vina dan Yulan. Kelompok ini terbentuk karena ada kedekatan urutan absen, kedekatan geografis letak rumah, kedekatan karena teman satu sekolah dan juga karena perkenalan nekat (ini mungkin berlaku untuk saya yang meminjam istilah Anne). Pertemanan kami juga tidak menggunakan embel2 nama seperti sekarang ini, karena saat itu kami merasa nyaman dengan satu sama lain untuk jalan bareng dan memulai hari2 kami di kampus baru

Seiring dengan waktu, sesuai dengan teori evolusi - entah teori ini masih relevan atau tidak di jaman ini karena sudah banyak dipatahkan - ada beberapa di antar kami yang tidak bisa bertahan di lingkungan kampus. Pertama kali Ruri yang harus drop out pada semester 2 dan kemudian menyusl Chicha di semester 3. Berat rasanya kehilangan teman dekat tanpa kami bisa mencegahnya. Yang bisa kami lakukan adalah belajar bertahan hidup dari kesalahan2 teman kami yang hilang itu. Semester 2 dan 3 itu ada beberapa dari kami yang pindah kost di rumah Yulan di Depok dekat kampus. Menyenangkan sekali tinggal bersama teman2 dekat, dan hampir semua kegiatan sehari-hari kami lakukan bersama, berangkat ke kampus, sarapan, makan siang, makan malam, belanja kebutuhan sehari-hari dan belajar.

Diantara kegiatan2 kampus dan kegiatan kami yang sangat menyehatkan jiwa (karena berupa budaya konsumtif normal dan diiringi dengan informasi gosip terkini), kami tanpa sadar harus berupaya untuk menahan tekanan dari peer group lain yang berusaha memasarkan dirinya pada kami. Tekanan ini ditambah dengan makin menguatnya kemunculan perbedaan2 di antara kami membuat dua orang teman kami mulai memisahkan diri. Ochy dan Yulan akhirnya menyerah dengan pinangan kelompok lain dan mulai menggabungkan diri dengan mereka. Yah, memang tidak bisa dipungkiri juga bahwa kami pun memberikan kontribusi masalah yang membuat Ochy dan Yulan memutuskan untuk memisahkan diri dari kami.

Dan akhirnya tinggallah kami berlima (Atink, selama itu masih menjadi anggota tidak tetap).

Lalu di semester 4 atau 5 kalau tidak salah, saya, Kika dan Vina kemudia melakukan bedol desa dari kost Yulan ke rumah Vina yang lucu dan menyenangkan di real estate di Margonda, Depok. Rumah mungil yang sengaja dibeli oleh orang tua Vina untuk kenyamanan studi Vina (terima kasih banyak Oom, Tante....) itu sangat mengakomodir semua kebutuhan jiwa petualang kami, yang sedang menikmati mengatur hidup sendiri tanpa orang tua. Dan dari rumah inilah kami akhirnya menamakan kelompok pertemanan kami dengan Armani.

Kalau dilihat dari nama Armani, kesannya kami ini adalah sekelompok perempuan yang sangat memperhatikan gaya berbusana, fashion-fashion paling mutakhir, atau setidak-tidaknya perempuan yang selalu tampil rapih dimana pun berapa. Padahal... kami tidak seperti itu, sama sekali. Armani itu sebenarnya nama yang kami ambil dari perancang taman di teras depan rumah Vina. Daripada kami harus menyebut rumah itu dengan alamat lengkap, ya lebih baik kami memilih nama yang praktis dan mendeskripsikan keberadaan kami. Kami merasa pas dengan nama Armani, walau pun kami harus menanggung konsekuensinya. Bagaimana tidak, teman-teman kami selalu keheranan dan kami harus dengan penuh kesabaran menjelaskan kepada mereka. Tapi mereka mulai menghentikan pertanyaan ketika kami mulai memperlihatkan tingkah laku destruktif kepada mereka.

Kami memang sekelompok perempuan tapi kami perempuan2 yang aktif, selalu ingin mencoba hal2 baru. Kami sering ikut kegiatan2 di kampus dan kami dengan sangat bangga selalu menceburkan diri dalam kegiatan2 yang lebih banyak menguras tenaga fisik. Dan banyak orang yang merasa nyaman bekerja dengan kami (yah, ini memang pendapat dari satu sisi, tapi sepertinya kita harus puas dengan kesan ini). Kalau dipikir2 kami agak jarang terlibat dalam kegiatan kampus yang berbau intelektual atau semacamnya, entah karena memang kami yang tidak berminat atau memang banyak teman kami yang menganggap kami tidak cukup berkualitas untuk diajak terlibat di kegiatan2 seperti itu. Hmm, tapi Anne pernah terlibat dalam kegiatan intelektual, kalau tidak salah Majalah Kampus Psyche, yang harus tetap dilestarikan keberadaannya. Dan Anne bersedia membagikan sekian persen dari jiwa raganya untuk kemajuan majalah itu. Cukup sukses juga kemajuan majalah itu setelah ditangani Anne (bagus juga karena kalau tidak berarti nama Armani akan ikut tercemar...)

Bersambung...

Monday, April 03, 2006

Hujan Sore-sore

Rencananya sih Sabtu sore ini mau ke rumah Anne buat bantuin suprise birthday party dia. Lagian dah cukup lama juga gak ketemu dia dan temen2 lama yang lain. Lumayan juga kan buat acara weekend. Ehh, pas udah mau berangkat, tinggal dandan dikit nihhh, kok langit jadi gelap banget dan gak lama kemudian ujan. Halaahhhh, ada-ada aja nihhh. Kenapa ujannya pas giliran gue mau jalan gini sihh, gak ntar malem aja.

Teringat ucapan sang Guru, gue langsung berenti ngomel, mungkin aja emang gue gak boleh berangkat sekarang tapi nanti aja nunggu reda atau mungkin gak berangkat sekalian karena apa pun yang terjadi sama gue, baik atau buruk, hasilnya pasti baik buat gue. So, gue tinggal tunggu dan liat keadaan aja. Daripada puyeng dan jengkel mulu akhirnya gue ambil buku dan ngerebus air mau bikin Coffeemix. Dah kebayang bau kopi, mantaaappp....

Sambil duduk di teras yang menghadap ke kebun tetangga yang luas itu (wiihh, pemandangan dari kamar kost gue top abis dehhh), Coffeemix panas mengepul, ujan deras dan buku adalah kombinasi yang pas sore itu. Rasanya tuh damai banget, tenang, gak perlu mikir apa2, cuma konsentrasi aja sama apa yang gue baca dan apa yang gue rasain sore itu.

Lagi asik baca, mata gue menangkap ada yang aneh... Pas gue angkat mata dari buku yang gue baca, di hadapan gue banyaaaakkkkkk banget binatang kecil, mirip laron ukuran kecil banget tapi dua kali lebih gede dari nyamuk. Yang jelas gue gak tau itu binatang namanya apa (dasar bloon, padahal itu binatang ada disekitar gue tapi gue gak pernah tau namanya dan liat bentuknya). Binatang2 itu semuanya terbangnya ke atas, teratur banget ritmenya. Mereka kayak tiba2 aja keluar dari tanah kebun tetangga itu, trus langsung terbang ke atas, gak terbang nyebar kemana-mana kayak laron itu.

Dalam hati sih gue mikir, ini binatang kenapa harus keluar sore ini dan pas ujan2 gini ya? Apa sih yang mau ditunjukin ke gue kali ini? Apa sih yang bakal gue dapet ini sore? Gak bisa menemukan jawaban, gue akhirnya cuma bisa liat sambil terkagum-kagum binatang2 yang jumlahnya beribu-ribu itu keluar dari tanah dan terbang ke atas. Kemudian satu persatu ada capung muncul. Di atas sana ada banyak burung juga. Enak banget ya mereka bisa ujan2an sambil terbang sesuka hati. Trus gue baru nyadar kenapa capung2 itu pada keluar, ternyata mereka tidak menikmati hujan, tapi mereka menikmati santapan sore berupa binatang2 kecil tadi.

Seru banget, makin lama capung yang keluar semakin banyak dan mereka bersaing untuk mencaplok binatang2 kecil itu. Gue akhirnya lupa dengan buku gue (tapi kopi tetep dooong diminum, enak siiiihh) dan asik nonton acara flora dan fauna live (who needs teve if we can have this kind of view everyday???). Sementara capung2 itu asik mencaplok, si binatang2 kecil itu juga masih asik terbang, and they kept coming from the ground. Kok mereka gak berenti aja ya keluar dari tanah dan stay di sana daripada dimakanin sama capung dan burung? Kok mereka gak takut ya?

Kenapa mereka bisa tetap setia dengan jalan hidup dan menerima takdir mereka tanpa banyak berpikir atau takut? Kenapa manusia gak bisa sedikit seperti mereka ya? Binatang2 kecil itu sepertinya hanya berkonsentrasi untuk keluar dari tanah karena mereka tau memang saat itu adalah waktu mereka untuk keluar, tidak di dalam tanah. Mereka gak mikir nanti di atas tanah mereka akan mengalami apa atau menjalani situasi yang seperti apa. Mereka cuma menjalani apa yang harus mereka jalani saat itu. Kalo memang mereka dimakan binatang lain ya berarti memang mereka harus mati, tapi kalo gak ya mereka akan tetap terbang ke atas.

Kok gue merasa malu sama mereka ya? Gue banyak takut dengan hal-hal yang ada di depan gue padahal gue gak tau gue akan menghadapi apa. Gue selalu mikirin hal2 yang buruk dimasa depan tanpa pernah bisa berkonsentrasi dengan apa yang gue miliki sekarang ini. So what gitu lohh kalo ketika melangkah gue terjatuh atau terpeleset, kan bisa bangun lagi. Emang kenapa juga gue harus takut sakit hati kalo ternyata dengan sakit hati gue bisa berproses dan berkembang menjadi orang yang lebih baik? Kenapa juga gue harus ragu2 ketika mengambil keputusan dan mikir yang terburuk dari keputusan itu, kenapa gak gue jalanin aja keputusan yang gue ambil itu? Urusan nanti gue happy atau gak itu bisa diurus belakangan.

Gue yakin gue akan bisa jauh lebih bahagia dan lebih bersyukur kalo gue bisa menjalani hidup seperti binatang2 kecil itu menjalani hidupnya. Gue akan bisa fokus dan memberikan yang terbaik untuk orang terdekat gue kalo gue punya pola pikir yang sejalan dengan alam. Gue tau gue akan bisa bahagia dengan apa pun yang gue punya sekarang ini, tanpa perlu terbebani dengan pikiran2 buruk gue sendiri....