Monday, April 24, 2006

Sesi Pencerahan (Really...???!!!)

Minggu ini adalah minggu saya memberitahukan pada seluruh kantor tentang keputusan saya untuk resign dan memilih untuk bergabung dengan perusahaan lain sejenis. Penerimaan seluruh anggota kantor kurang lebih sama, bisa memahami keputusan saya dan ada ungkapan rasa kehilangan mengingat saya sudah bersama dengan mereka selama satu setengah tahun. Pemberitahuan ini bertepatan dengan acara non rutin (atau mungkin bisa saya sebut sebagai acara dadakan yang diadakan secara sepihak) yang diatur oleh atasan saya. Acara yang diprakarsainya ini disebutnya sebagai acara sesi pencerahan.

Pada hari yang telah ditentukan, dengan waktu yang molor sekitar 1 jam (keadaan yang paling menyebalkan karena saya selalu berusaha untuk on time), acara itu dimulai. Atasan saya menghadirkan dua orang, satu sebagai pembicara dan satu orang lagi sebagai asisten pembicara tersebut (mungkin lebih tepat disebut sebagai ajudan karena sepanjang pertemuan tidak ada satu hela suara yang terdengar darinya). Pembicara itu bernama Pak Sugi, tidak ada keterangan sedikit pun apa profesinya kecuali keterangan darinya bahwa dia ada di kantor kami karena ingin membantu atasan saya untuk meningkatkan profit perusahaan. Ada kesan bahwa dia adalah guru ngaji (karena pembahasannya selalu dikaitkan dengan ayat2 Al Quran) dan juga sekaligus motivator (karena dia menyampaikan beberapa fakta bahwa banyak 'murid2' yang berhasil berkat ajaran2nya (tapi ini tidak didukung dengan bukti yang nyata)).

Secara pribadi, saya sendiri cukup tertarik dengan gambaran materi yang disampaikan, karena dikaitkan dengan ayat2 AlQuran dan juga telaah dari kalimat Bismillaahirrohmaanirrohiim. Saya menganggap acara ini sebagai media untuk memperdalam pengetahuan agama saya yang memang masih dangkal dan sebagai media untuk lebih memahami diri saya sampai saat ini.Dengan berbekal niat dan prasangka baik inilah saya mengikuti sesi pencerahan tersebut tanpa banyak keberatan.

Entah kenapa di sesi ini dari awal dia selalu 'melibatkan' saya sebagai dari faktor pendukung penyampaian materinya. Oke, teman2 saya yang lain juga dilibatkan dalam sesi ini tapi kalau saya perhatikan sepertinya porsi yang paling banyak ditanya dan dimintai pendapatnya adalah saya (dan teman saya, Komang). Tapi makin lama makin terasa bahwa dia tidak lagi berusaha melibatkan saya tapi akhirnya menjadi menyerang saya, terutama ketika terungkap fakta bahwa sebentar lagi saya akan resign. Mulailah dia 'menghakimi' saya dengan bertanya apakah saya mendapatkan gaji yang lebih baik sehingga saya mau menerima tawaran dari perusahaan lain? Saya jawab ya, karena adalah bodoh kalau saya menolak tawaran yang lebih baik, selama tawaran itu tidak bertentangan dengan prinsip saya. Kemudian dia mengatakan bahwa rupanya saya mendahulukan perasaan negatif saya dan juga ketidakpuasan saya terhadap kantor ini sehingga saya menerima tawaran dari tempat lain. Saya 'dituduh' tidak berusaha dengan bersungguh2 dalam bekerja tapi malah sibuk mempermasalahkan ketidakpuasan saya dan mencari2 tempat lain yang bisa memuaskan saya. 'Beliau' menekankan bahwa saya tidak akan pernah puas dan berbahagia bekerja di kantor mana pun bila saya tetap mempunyai pola pikir yang seperti itu. Upacara penghakiman ini kemudian makin diperjelas dengan perintahnya (dan juga perintah atasan saya) agar saya membacakan tafsir dari beberapa ayat AlQuran yang dipilihnya. Hmm, acara ini mulai melenceng dari agenda....

Sepertinya setiap staff di kantor (dengan mengecualikan satu orang yang merupakan anggota keluarga atasan) dituduh tidak berusaha dengan sungguh2 dalam bekerja dan mencapai target perusahaan sehingga akhir-akhir ini muncul banyak masalah yang terwujud dalam bentuk keluhan2 dari klien. Bahwa kami selalu mengedepankan perasaan kami dalam bekerja dan tidak bersungguh2 mengoptimalkan kerja otak kami, dimana sesungguhnya, menurutnya, bila otak telah terbuka maka kami akan bisa mencapai semua yang kami inginkan (dalam hal ini adalah keinginan atasan kami untuk meningkatkan profit perusahaan).

Dari awal sesi pertemuan, selalu hal-hal negatif yang diungkapkan oleh atasan kami dan orang itu. Saya agak menyesali hal ini karena tanpa pertimbangan dan pengetahuan yang baik tentang diri kami, orang itu selalu menyerang kami. Saya agak meragukan apakah ada diantara kami yang benar2 mendapatkan pecerahan dari apa yang disampaikannya. Dan saya agak kecewa bahwa ternyata cara pandang atasan kami tetap sama saja sejak dahulu terhadap kami. Kami jarang menerima feedback positif dari semua yang sudah kami lakukan. Kami mungkin berbuat salah atau melakukan tindakan bodoh dalam bekerja. Kami tahu bahwa menjalankan perusahaan adalah sesuatu yang rumit dan membutuhkan banyak energi yang harus dikeluarkan atasan kami. Kami juga menyadari bahwa atasan kami sudah berusaha menjadi atasan yang baik, dimana hal itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Tapi dibalik semua kerepotan dan kelelahannya dalam mengelola perusahaan, kami tetap sangat membutuhkan feedback positif dan juga apresiasi yang baik terhadap hasil usaha kami. Meeting yang kami lakukan selalu berkisar pada meeting target, meeting produksi dan juga meeting untuk memperbaiki kesalahan. Sepanjang saya ingat, jarang ada meeting yang dikhususkan untuk membahas usaha positif kami.

Dalam sesi pencerahan itu secara eksplisit disebutkan bahwa Allah SWT selalu memberikan yang terbaik untuk kita bila kita selalu yakin dan berpikir positif terhadapNya. Tapi tak pernah satu kalimat pun terucap yang menggambarkan pikiran positif dan keyakinan terhadap kami (atau saya) dari orang itu dan juga atasan saya. Bagaimana mungkin kami bisa berpikir positif terhadap diri kami dan juga terhadap orang lain bila kami selama ini selalu diberi masukan negatif akan diri dan usaha kami? Bagaimana kami bisa yakin terhadap atasan kami bila ternyata atasan kami pun meragukan kami? Dan sekarang kami harus rela berkorban jiwa dan raga mendukung setiap langkah atasan kami tanpa kami pernah diberi apresiasi dan keyakinan positif akan diri kami? Mungkinkah????

Saya tahu dan merasakan sendiri kekuatan dari berpikiran positif dan juga keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT selalu memberikan yang terbaik untuk saya (dan hal ini juga berlaku untuk semua makhluk hidup). Karena kekuatan keyakinan saya itu makanya saya mendapatkan tawaran yang lebih baik tanpa pernah saya memintanya. Saya akui saya memang selalu mencari-cari kesempatan dan peluang yang lebih baik selama ini, tapi apa daya, tak satu pun yang berhasil, semuanya gagal. Tapi ternyata kemudian tawaran yang saya inginkan datang begitu saja tanpa pernah saya mencarinya. Itu terjadi ketika saya akhirnya memasrahkan semuanya padaNya dan menumbuhkan keyakinan bahwa Dia akan selalu mendampingi saya sampai kapan pun dan bahwa saya tidak akan tersia-sia di dunia ini. Hasilnya? Tanggal 3 Mei 2006 esok saya mulai bergabung dengan perusahaan lain yang Insya Allah sesuai dengan apa yang saya inginkan saat ini.

Sesi kemarin itu memberikan pencerahan yang berbeda untuk saya pribadi, saya makin tercerahkan bahwa apa yang saya jalani ini adalah benar dan bahwa keputusan saya untuk berhenti adalah tepat. Untuk 'beliau sang guru ngaji' itu, alangkah baiknya bila dia bisa menyelaraskan antara teori yang diciptakannya dengan tindakan dan ucapannya. Alangkah baik bila dia bisa mulai belajar untuk melihat sisi positif dari tiap orang yang diajarnya, sesuai dengan ucapannya bahwa dia selalu berpikir positif terhadap Allah SWT. Karena, mungkinkah Allah SWT menyukai hamba-hambaNya yang lebih terpicu oleh hal-hal negatif tanpa pernah mencoba menggali nilai positif yang ada dalam tiap hal? Dan mungkinkah kita mulai berpikir positif tentang Allah SWT bila kita tidak pernah belajar berpikir positif terhadap diri kita dan juga orang lain?

1 Comments:

Blogger Herry said...

Didin!!! :-D Apa kabarmu bu? Makasih banget udah maen ke blog dan leaving comment there :) thanks soooo much..

11:04 PM

 

Post a Comment

<< Home